Kutipan Novel Rindu Tere Liye
Rindu
Kisah ini lebih sederhana, tapi tetap bersejarah
setidaknya bagi semua orang yang terlibat di dalamnya. Ini kisah tentang
perjalanan. Dan sebagaimana lazimnya sebuah perjalanan, selalu disertai dengan
pertanyaan-pertanyaan. Novel ini berkisah mengenai kerinduan beribadah di
tanah suci oleh para penumpang kapal BLITAR HOLLAND dengan latar belakang yang
beragam, ini tentang pencarian jawaban atas pertanyaan yang muncul selama
menempuh perjalanan, bukan hanya perjalanan di atas kapal, tapi perjalanan
hidup.
Ini tentang masa lalu yang memilukan, tentang kebencian kepada seseorang yang seharusnya disayangi, tentang kehilangan kekasih hati, tentang cinta sejati, dan tentang kemunafikan. Berikut sedikit kutipan dari novel ini.
“Sungguh, kalau kau berusaha lari dari kenyataan itu,
kau hanya menyulitkan diri sendiri. Ketahuilah semakin keras kau berlari, maka
semakin kuat cengkeramannya. Semakin kencang kau berteriak melawan, maka
semakin kencang pula gemanya memantul, memantul, dan memantul memenuhi kepala.”
(hal. 312)
“Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah
dengan dihadapi. Berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa lalumu.
Buat apa dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi bagian hidup kita. Peluk semua
kisah itu, berikan dia tempat terbaik dalam hidupmu. Itulah cara terbaik
mengatasinya. Dengan kau menerimanya, perlahan-lahan, dia akan memudar sendiri.
Disiram oleh waktu, dipoles oleh kenangan yang lebih bahagia. Apakah mudah
melakukannya? Itu sulit, tapi bukan berarti mustahil.” (hal. 312)
“Tentang penilaian orang lain, tentang
cemas diketahui orang lain siapa kau sebenarnya. Maka ketahuilah, saat kita
tertawa, hanya kitalah yang tahu persis apakah tawa itu bahagia atau tidak.
Boleh jadi, kita sedang tertawa dalam seluruh kesedihan. Orang lain hanya melihat
wajah. Saat kita menangis pun sama, hanya kita yang tahu persis apakah tangisan
itu sedih atau tidak. Boleh jadi, kita sedang menangis dalam seluruh
kebahagiaan. Orang lain hanya melihat luar. Maka, tidak relevan penilaian orang
lain.” (hal.313)
“Kita tidak perlu menjelaskan panjang
lebar. Itu kehidupan kita. Tidak perlu siapa pun mengakuinya untuk dibilang
hebat. Kitalah yang tahu persis setiap perjalanan hidup yang kita lakukan.
Karena sebenarnya yang tahu persis apakah kita bahagia atau tidak, tulus atau
tidak, hanya diri kita sendiri. Kita tidak perlu menggapai seluruh catatan
hebat menurut versi manusia sedunia. Kita hanya perlu merengkuh rasa damai
dalam hati kita sendiri.” (hal. 313)
“Kita tidak perlu membuktikan pada
siapapun bahwa kita itu baik. Buat apa? Sama sekali tidak perlu. Jangan
merepotkan diri sendiri dengan penilaian orang lain. Karena toh, kalaupun orang
lain menganggap kita demikian, pada akhirnya tetap kita sendiri yang tahu
persis apakah kita memang sebaik itu.” (hal. 313)
“Apakah Allah akan menerima seorang
pelacur di Tanah suci? Jawabannya hanya Allah yang tahu, kita tidak bisa
menebak, menduga, memaksa, merajuk, dan sebagainya. Itu hak penuh Allah. Tapi
ketahuilah, Nak, ada sebuah kisah sahih dari Nabi kita. Mungkin itu akan
membuatmu menjadi mantap. Sebuah kisah tentang pelacur yang memberikan minumnya
kepada anjing yang kehausan padahal ia juga sangat haus dan sisa air tinggal
sedikit. Hingga akhirnya pelacur itu menjemput ajalnya karena kehausan, namun
karena amal baiknya pada seekor anjing, Allah mengampuni dosa-dosanya.”
(hal.314)
“Jadi apakah Allah akan menerima ibadah
haji seorang pelacur? Hanya Allah yang tahu. Kita hanya bisa berharap dan
takut. Senantiasa berharap atas ampunanNya. Selalu takut atas azabNya. Belajarlah
dari riwayat itu. selalulah berbuat baik Upe, selalu. Maka semoga esok lusa,
ada satu perbuatan baikmu yang menjadi sebab kau diampuni. Mengajar anak-anak
mengaji misalnya, boleh jadi itu adalah sebabnya.” (hal.314)
_
“Kita sebenarnya sedang membenci diri
sendiri saat membenci orang lain. Ketika ada orang jahat, membuat kerusakan di
muka bumi, misalnya, apakah Allah langsung mengirimkan petir untuk menyambar
orang itu? Nyatanya tidak. Bahkan dalam beberapa kasus, orang-orang itu
diberikan begitu banyak kemudahan, jalan hidupnya terbuka lebar. Kenapa Allah
tidak langsung menghukumnya? Kenapa Allah menangguhkannya? Itu hak mutlak
Allah. Karena keadilan Allah selalu mengambil bentuk terbaiknya, yang kita
selalu tak paham.” (hal. 373)
“Apakah kita berhak membenci orang lain?
Sedangkan Allah sendiri tidak mengirimkan petir? Kenapa kita harus benci?
Kenapa? Padahal kita bisa saja mengatur hati kita, bilang saya tidak akan
membencinya. Toh itu hati kita sendiri. Kita berkuasa penuh mengatur-aturnya.
Kenapa kita tetap memutuskan membenci? Karena boleh jadi, saat kita membenci
orang lain, kita sebenarnya membenci diri sendiri.” (hal. 373)
“Saat kita memutuskan memaafkan seseorang,
itu bukan persoalan apakah orang itu salah, dan kita benar. Apakah orang itu
memang jahat atau aniaya, bukan! Kita memutuskan memaafkan seseorang karena
kita berhak atas kedamaian di dalam hati.”
(hal. 374)
(hal. 374)
_
“Lahir atau mati adalah takdir Allah. Kita
tidak bisa menebaknya. Kita tidak bisa memilih orangtua, tanggal, tempat….tidak
bisa. Itu hak mutlak Allah. Kita tidak bisa menunda, maupun memajukannya walau
sedetik. Kenapa Mbah Putri harus meninggal di kapal ini? Allah yang tahu
alasannya. Dan ketika kita tidak tahu, tidak mengerti alasannya, bukan berarti
kita jadi membenci, tidak menyukai takdir tersebut. Amat terlarang bagi seorang
muslim mendustakan takdir Allah.” (hal. 470)
“Allah memberikan apa yang kita butuhkan,
bukan apa yang kita inginkan. Segala sesuatu yang kita anggap buruk, boleh jadi
baik untuk kita. Sebaliknya, segala sesuatu yang kita anggap baik, boleh jadi
amat buruk bagi kita." (hal. 470)
"Mulailah menerima dengan lapang
hati. Karena kita mau menerima atau menolaknya, dia tetap terjadi. Takdir tidak
pernah bertanya apa perasaan kita, apakah kita bahagia, apakah kita tidak suka.
Takdir bahkan basa basi menyapa pun tidak. Tidak peduli, Nah. Kabar baiknya,
karena kita tidak bisa mengendalikannya, bukan berarti kita jadi makhluk tidak
berdaya. Kita tetap bisa mengendalikan diri sendiri bagaimana menyikapinya.
Apakah bersedia menerimanya, atau mendustakannya.” (hal. 471)
“Biarkanlah waktu mengobati seluruh
kesedihan. Ketika kita tidka tahu mau melakukan apa lagi, ketika kita merasa
semua sudah hilang, musnah, habis sudah, maka itulah saatnya untuk membiarkan
waktu menjadi obat terbaik. Hari demi hari akan menghapus selembar demi
selembar kesedihan. Minggu demi minggu akan melepas sepapan demi sepapan
kegelisahan, bulan, tahun, maka rontok sudahlah bangunan kesedihan di dalam
hati. Biarkanlah waktu mengobatinya, maka semoga kita mulai lapang hati
menerimanya. Sambil terus mengisi hari-hari dengan baik dan positif.” (hal.
472)
“Dalam Al Qur’an, ditulis dengan sangat
indah, minta tolonglah kepada sabar dan shalat. Bagaimana mungkin sabar bisa
menolong? Tentu saja bisa. Dalam situasi tertentu, sabar bahkan adalah penolong
paling dahsyat. Tiada terkira. Dan shalat, itu juga penolong terbaik tiada
tara.” (hal. 472)
_
“Apakah arti cinta sejati itu? Maka
jawabannya, dalam kasus kau ini, cinta sejati adalah melepaskan. Semakin sejati
perasaan itu, maka semakin tulus kau melepaskannya. Persis seperti anak kecil
yang menghanyutkan botol tertutup di lautan, dilepas dengan rasa suka cita. Aku
tahu, kau akan protes, bagaimana mungkin? Kita bilang itu cinta sejati, tapi
kita justru melepaskannya? Tapi inilah rumus terbalik yang tidak pernah
dipahami para pecinta. Mereka tidak pernah mau mencoba memahami penjelasannya,
tidak bersedia.” (hal. 492)
“Lepaskanlah. Maka esok lusa, jika dia
adalah cinta sejatimu, dia pasti akan kembali dengan cara mengagumkan. Ada saja
takdir hebat yang tercipta untuk kita. Jika dia tidak kembali, maka sederhana
jadinya, itu bukan cinta sejatimu. Kisah-kisah cinta di dalam buku itu, di
dongeng-dongeng cinta, atau hikayat orang tua, itu semua ada penulisnya. Tapi
kisah cinta kau, siapa penulisnya? Allah. Penulisnya adalah pemilik cerita
paling sempurna di muka bumi. Tidakkah sedikit saja kau mau meyakini bahwa
kisah kau pastilah yang terbaik yang dituliskan.” (hal. 492)
“Dengan meyakini itu, maka tidak mengapa
kalau kau patah hati, tidak mengapa kalau kau kecewa, atau menangis tergugu
karena harapan, keinginan memiliki, tapi jangan berlebihan. Jangan merusak diri
sendiri. Selalu pahami, cinta yang baik selalu mengajari kau agar menjaga diri.
Tidak melanggar batas, tidak melewati kaidah agama. Karena esok lusa, ada orang
yang mengaku cinta, tapi dia melakukan begitu banyak maksiat, menginjak-injak
semua peraturan dalam agama, menodai cinta itu sendiri. Cinta itu ibarat bibit
tanaman. Jika ia tumbuh di tanah yang subur, disiram dengan pupuk pemahaman
baik, dirawat dengan menjaga diri, maka tumbuhlah dia menjadi pohon yang
berbuah lebat dan lezat. Tapi jika bibit itu tumbuh di tanah yang kering,
disiram dengan racun maksiat, dirawat dengan niat jelek, maka tumbuhlah ia
menjadi pohon meranggas, berduri, berbuah pahit.” (hal. 493)
“Jika harapan dan keinginan memiliki itu
belum tergapai, belum terwujud, maka teruslah memperbaiki diri sendiri,
sibukkan dengan belajar. Sekali kau bisa mengendalikan harapan dan keinginan
memiliki, maka sebesar apa pun wujud kehilangan, kau akan siap menghadapinya.
Jika pun kau akhirnya tidak memiliki gadis itu, besok lusa kau akan memperoleh
pengganti yang lebih baik.” (hal. 493)
_
"Lihatlah yaa Rabbi. Betapa menyedihkan
dirinya. Orang yang pandai menjawab begitu banyak pertanyaan, sekarang
bahkan tak berani menjawab pertanyaan diri sendiri. Ia menulis tentang
kemerdekaan, tapi ia sendiri tidak berani melakukannya secara konkret. Ia
selalu menghindar dengan alasan ada jalan keluar yang lebih baik. Ia tidak
pernah memimpin perlawanan. Ia pengecut. Ia selalu lari. Tidak sedetik pun ia
lahir dala pertempuran melawan penjajah." (hal. 532)
"Lawanlah
kemungkaran dengan tiga hal. Dengan tanganmu, tebaskan pedang penuh gagah
berani. Dengan lisanmu, sampai dengan perkasa. Atau dengan di dalam hati, tapi
itu sungguh selemah-lemahnya iman. Ilmu agamaku dangkal. Tapi malam ini, kita tidak bisa melawan kemungkaran
dengan benci di dalam hati atau lisan. Kita tidak bisa menasihati perompak itu
dengan ucapan-ucapan lembut. Kita tidak bisa membebaskan seluruh penumpang
dengan benci di dalam hati. Malam ini kita harus menebaskan pedang. Percayalah,
semua akan berjalan baik. Kita bisa melumpuhkan perompak itu. Aku mohon. Sungguh
aku mohon. Rencana ini sia-sia jika Gurutta tidak bersedia memimpinnya.”
(532-533)
-
“Tidak mengapa kalau kau patah hati, tidak mengapa
kalau kau kecewa, atau menangis tergugu karena harapan, keinginan memiliki,
tapi jangan berlebihan. Jangan merusak diri sendiri. Selalu pahami, cinta yang
baik selalu mengajari kau agar menjaga diri. Tidak melanggar batas, tidak
melewati kaidah agama. Karena esok lusa, ada orang yang mengaku cinta, tapi dia
melakukan begitu banyak maksiat, menginjak-injak semua peraturan dalam agama,
menodai cinta itu sendiri.”
“Tidak perlu janji. Insya Allah sudah lebih dari cukup, Nak. Karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok lusa.” (hal. 172)
“Karena Allah menjanjikan barang siapa yang menutup aib saudaranya, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Itu janji yang hebat sekali. Kalaupun ada saudara kita yang tetap membahasnya, mengungkitnya, kita tidak perlu berkecil hati. Abaikan saja. Dia melakukan itu karena ilmunya dangkal. Doakan saja semoga besok lusa dia paham.”
“Tidak perlu janji. Insya Allah sudah lebih dari cukup, Nak. Karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok lusa.” (hal. 172)
“Karena Allah menjanjikan barang siapa yang menutup aib saudaranya, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Itu janji yang hebat sekali. Kalaupun ada saudara kita yang tetap membahasnya, mengungkitnya, kita tidak perlu berkecil hati. Abaikan saja. Dia melakukan itu karena ilmunya dangkal. Doakan saja semoga besok lusa dia paham.”
Komentar
Posting Komentar